Cahaya matahari pertama menyentuh hutan dekat Akademi
Gajah. Pagi datang. Aku dan Retro tertawa saling memukulkan
telapak tangan. Berburu babi ternyata luar biasa. Kami memang
tidak berbakat memanah bantalan sasaran. Tetapi dengan tingkat
ketegangan dan kesenangan yang berbeda, praktik langsung di
tengah hutan, kemampuan memanah kami meningkat pesat.
Aku memeriksa babi yang berhasil kami panah setengah jam
lalu, mematut-matut ukurannya. Tidak kalah besar dibanding
panahan anggota tim elite.
Rencanaku berjalan sempurna. Aku memutuskan bergabung
dengan kelompok Wade. Lebih sedikit instruktur memanah dan
petugas senior asrama di kelompoknya, jadi kemungkinan dicurigai
lebih sedikit. Lagi pula Wade sering ikut bekerja di
perkampungan. Kami teman dekat. Hanya sekali ia bertanya.
Wade sambil melipat dahi dan bertanya sejak kapan aku dan
Retro bergabung dengan rombongan.
”Izin dari kepala sekolahnya baru keluar persis pukul lima
sore, Kawan. Dam berhasil membujuknya,” Retro menjawab
santai, tertawa kecil. ”Susah sekali meyakinkan orang tua itu
bahwa kami tidak akan mencelakakan murid lain.”
Wade menyeringai, tidak bertanya lagi. Ia pemimpin kelompok,
memberikan instruksi ke arah mana anggota kelompok
akan bergerak, membagi tugas, memberikan kode bersiaga, diam
sejenak atau terus maju. Dua ekor anjing pelacak yang ikut kami
mulai melakukan tugasnya. Perburuan itu berlangsung seru,
diterangi remang cahaya bulan. Detak jantungku berdegup
kencang saat mengendap-endap di antara pohon besar, mengintai
kawanan babi. Sasaran kami malam ini.
Wade mengacungkan tangannya. Itu kode siap tempur pada
anggota kelompok. Aku dan Retro sudah memasang anak panah
sejak tadi, membidik baik-baik. Napas kami yang berkabut mendengus
lebih kuat. Dan saat Wade menurunkan tangannya,
dimulailah penyerbuan.
Retro berseru sebal. Anak panahnya hanya menancap di tanah.
Aku tidak sempat menepuk dahi. Anak panahku juga meleset.
Aku bergegas menyiapkan anak panah berikutnya sambil
mengejar kawanan babi yang serentak berlarian. Wade berteriak
memberikan komando, berkali-kali mengingatkan agar kami tidak
terpisah. Di bagian lain hutan, kelompok lain juga mulai mengejar
sasaran. Teriakan gaduh dan salakan anjing memenuhi langitlangit
hutan dekat asrama. Seru sekali mendengarnya.
Waktu berjalan tidak terasa. Baju dan kepalaku basah oleh
keringat.
Berburu seperti ini ternyata melelahkan. Retro tersengal,
menyeka peluh di leher, tertawa senang. Dan saat cahaya
matahari
pertama menyentuh pucuk-pucuk kanopi hutan, perburuan
berakhir. Wade memeriksa kelengkapan anggota kelompok,
memastikan tidak ada yang tertinggal atau terluka,
mencatat hasil masing-masing. Ia tertawa melihatku dan Retro.
”Tidak buruk, Kawan. Ini terhitung mengejutkan untuk dua
amatiran yang baru pertama kali ikut.”
Aku dan Retro ikut tertawa. Andai saja Wade tahu kami bergabung
di kelompoknya secara ilegal, boleh jadi ia akan memanah
kami saat itu juga. Semalam, tidak terhitung berapa kali
ia meneriaki kami agar tidak terpisah dari kelompok, bilang
bahwa seluruh keselamatan anggota ada di tangannya. Kepala
sekolah bisa menggantungnya kalau ada yang tidak beres.
Download Novel Ayahku (Bukan) Pembohong) karya Tere Liye Pdf